Minggu, 08 Desember 2013

NENEK SARPINAH, BELAJAR DARI PENGALAMAN UNTUK HIDUP YANG LEBIH BAIK

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH
Pengantar Ilmu Sejarah
yang dibina oleh Ibu Indah W.P. Utami, S.Pd., S.Hum., M.Pd.



OLEH
Rodhiyatul Dewi Faziah
130731616751










UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PENDIDIKAN SEJARAH
Desember 2013
DAFTAR ISI


BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.......................................................................................................................
B.     Rumusan Masalah..................................................................................................................
C.     Tujuan....................................................................................................................................
D.    Metode Sejarah......................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A.    Kehidupan Masa Kecil Sarpinah Ketika Penjajahan di Indonesia........................................
B.     Kehidupan Sarpinah Setelah Menikah Hingga Sekarang......................................................

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan............................................................................................................................
B.     Saran......................................................................................................................................



BAB I
PANDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Sejarah adalah sebuah peristiwa yang telah terjadi dimasa lampau dan peristiwa tersebut tidak akan pernah terjadi untuk yang kedua kalinya. Meskipun dalam kehidupan kita nanti akan ada sebuah peristiwa yang dapat dikatakan “kejadian itu terulang lagi, seperti yang waktu itu”, namun sebenarnya peristiwa itu tidak benar-benar terjadi seperti yang telah berlalu sebelumnya. Hanya kemiripan dalam beberapa peristiwa yang menyebabkan orang mengatakan peristiwa tersebut telah terulang kembali. Menurut Sugeng (2013), “sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan suatu perputaran jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat, dan peradaban”.
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan anggota keluarga. Menurut Salvicion dan Celis (1998), di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
Sejarah keluarga melibatkan seluruh anggota keluarga didalamnya, baik secara sadar maupun tidak. Sejarah memiliki keruntutan waktu yang disebut kronologi yang sangat penting dalam suatu rekonstruksi kisah sejarah, dan kesemuanya selalu berkaitan satu sama lain. Hal tersebut mendasari penulis untuk menuliskan perjalan sejarah keluarga nenek sarpinah berikut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kehidupan masa kecil Sarpinah ketika masa penjajahan di Indonesia?
2.      Bagaimana kehidupan Sarpinah setelah menikah hingga sekarang?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana kehidupan masa kecil Sarpinah pada masa penjajahan di Indonesia.
2.      Bagaimana kehidupan keluarga Sarpinah setelah ia menikah hingga sekarang.

D.    Metode Sejarah
1.      Pemilihan topik
Kehidupan masa lalu nenek Sarpinah sangat menarik perhatian penulis untuk dapat mengetahuinya lebih dalam. Sebab selain mengetahui gambaran kehidupan di masa lalu, penulis juga sangat beruntung karena dapat mengetahui lebih dalam mengenai kehidupan masa lalu nenek Sarpinah untuk mengerti bagaimana kehidupan masyarakat pada zaman penjajahan secara langsung, karena selama ini beliau adalah sosok yang pendiam. Oleh sebab itu penulis memilih topic ini sebagai pokok bahasan.
2.      Heuristik
Untuk dapat menuliskan kembali kisah kehidupan nenek Sarpinah, penulis melakukan wawancara secara langsung kepada belaiu, selain juga mendapatkan informasi lain dari adik ipar dan anak nenek Sarpinah sendiri. Selain menggunakan wawancara, penulis juga mendapatkan beberapa informasi dari internet sebagai sumber tambahan dan sumber pembanding.
3.      Kritik Sumber
a.       Kritik eksternal
Berdasarkan penuturan dari sumber primer yakni nenek Sarpinah, menyebutkan bahwa ia pernah mengalami kegagalan dalam pernikahannya dengan suaminya yang pertama, mengenai kematian kakaknya ketika berperang melawan penjajah, mengenai saudara-saudaranya yang lain tidak diasuh oleh ibunya sendiri, dan juga mengenai pengadopsian bayi perempuan yang telah berstatus sebagai anak kandungnya juga keterangan-keterangan yang disampaikan oleh nenek Sarpinah sesuai dengan penuturan dari narasumber yang lain.
b.      Kritik internal
Mengenai keterangan dari nenek Sarpinah akan tahun lahirnya, penulis masih sedikit ragu karena beliau hanya mnyebutkan jika tahun ini umurnya 86tahun. Penulis tidak memiliki data pembanding untuk mendapatkan kebenaran mengenai keterangan tersebut.
4.      Interpretasi
Nenek Sarpinah banyak belajar dari pengalaman hidupnya yang mampu membuatnya untuk terus terdorong melakukan perubahan-perubahan kea rah yang lebih baik.
5.      Heuristik
            Dalam penulisan sejarah ini, penulis memulai dengan menuliskan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan metode-metode yang digunakan untuk menulis sejarah ini dalam BAB1. Kemudian dalam BAB2 dibahas secara labih mendalam mengenai sejarah ini yakni sejarah kehidupan nenek Sarpinah sejak kecil di zaman penjajahan hingga sekarang. BAB3 berisi kesimpulan dan saran mengenai apa yang telah dibahas dalam BAB2.




























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kehidupan Masa Kecil Sarpinah Ketika Masa Penjajahan di Indonesia
Lahir di kota Malang sekitar tahun 1927 tanpa diketahui hari, tanggal bahkan bulan kelahirannya. Sarpinah adalah anak ke empat dari enam bersaudara yang lahir dari seorang ibu bernama Rukiyati, dengan empat saudara laki-laki dan seorang kakak perempuan. Kehidupan yang harus dijalani Sarpinah kecil membuatnya teringat akan peristiwa-peristiwa yang terjadi dimasa itu.
Sejak kecil Sarpinah sudah harus belajar mencari nafkah dengan diajak ibunya berjualan nasi bungkus dan menjajakannya dengan berjalan hingga ±5 km jauhnya dengan menyunggi bakul besar. Sarpinah satu-satunya anak yang masih diasuh oleh Rukiyati, sedangkan saudara-saudaranya yang lain diasuh oleh sanak saudara baik dari Rukiyati maupun suaminya sendiri. Hasil yang didapat dari berjualan nasi saat itu dapat dibilang cukup banyak, tetapi ironisnya, hasil dari berjualan itu tidak digunakan untuk membeli bahan makan dan kebutuhan rumah tangga lainnya, bahkan Sarpinah pun juga tidak pernah diberi uang jajan. Uang dari hasil berjualan selalu digunakan oleh Rukiyati sendiri untuk bersenang-senang. Paling tidak ia gunakan untuk mengundang andong (pengamen-pengamen) bernyanyi di rumahnya. Meskipun begitu, Rukiyati adalah seorang pekerja keras dan selalu sibuk dengan pekerjaannya hingga tidak sempat untuk mengurus anak-anaknya.
Sarpinah tidak pernah mengecam bangku sekolah sama sekali karena kedua orang tuanya tak pernah memberi kesempatan untuk Sarpinah bersekolah meskipun dalam hati kecilnya ia sangat ingin pergi ke sekolah. Hari-harinya disibukkan dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan membantu ibunya berdagang. Namun hingga saat ini ia masih mampu membaca dan berhitung, hanya saja kini faktor usia membuat daya penglihatannya menurun. Ia belajar membaca dan berhitung secara otodidak melalui kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan kedua adik laki-lakinya yang bernama Boeang dan Pa’i, mereka mendapatkan kesempatan untuk pergi ke sekolah meskipun dengan perlengkapan sekadarnya, bahkan Pa’I pergi ke sekolah menggunakan rok sedangkan Boeang memakai celana yang sudah sobek-sobek, namun hal itu tak meredupkan semangat mereka untuk bersekolah. Boeang melanjutkan hingga ke jenjang ST (Sekolah Teknik) sekoloah milik Belanda kala itu. Saat itu tidak ada biaya pendidikan yang dibebankan terhadap siswa, sehingga siapapun dapat bersekolah, hanya saja kesadaran dan keinginan untuk bersekolah kala itu masih sangat rendah.
Sarpinah juga mengenang adanya penyerangan dari pihak Belanda di Madyopuro yang menewaskan seorang kakaknya juga mengenai sebelas orang lainnya yang dibantai dan dikuburkan dalam sumur yang menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Madyopuro melawan penjajah.
Tentara-tentara Belanda dengan membawa senapan mendatangi setiap rumah penduduk di desa Ngadipuro kala itu, mereka mendobrak setiap pintu rumah warga dan membawa para kaum laki-laki ikut bersama mereka. Mereka dikumpulkan dan ditembaki di sebuah tanah lapang yang saat ini merupakan halaman depan gedung kelurahan Madyopuro, pembantaian juga dilakukan di halaman belakang SDN Madyopuro 1, para korban meninggal dimasukkan ke dalam sumur. Untuk mengenang peristiwa tersebut, didirikan Tugu Bambu Runcing di halaman sekolah dan Sumur Maut yang terletak di belakang ruang kelas SDN Madyopuro 1. Penulis tidak mendapat keterangan lebih dalam mengenai tragedi tersebut karena terbatasnya sumber dan satu-satunya buku yang dapat dijadikan referensi oleh penulis sudah tidak dapat dijumpai lagi.Selain kakaknya, Sarpinah juga nyaris kehilangan ayahnya dalam tragedi Sumur Maut itu

B.     Kehidupan Sarpinah Setelah Menikah Hingga Sekarang
Sekitar tahun 1949, Sarpinah dipinang oleh Barimin salah seorang pemuda di kampungnya. Rencana pernikahan mereka sempat hampir gagal karena menurut orang tua keduanya, mereka masih memiliki hugungan darah yang seharusnya tidak boleh menikah. Menurut mereka jika Sarpinah dan Barimun tetap menikah, rumah tangga mereka akan terus didera kesusahan. Tetapi mereka memaksa untuk tetap menikah. Prosesi pernikahan berlangsung dengan lancar, namun usia pernikahan meraka terbilang cukup singkat karena apa yang dipercayai oleh orang tua mereka benar terjadi. Selalu ada yang tertimpa musibah diantara keduanya setelah pernikahan itu  Akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Setelah perpisahan itu, Barimin menikah lagi hingga tiga kali. Sedangkan Sarpinah menikah untuk ynag ke-dua kalinya dengan seorang prajurit tentara bernama Wakidjo.
Di tahun-tahun awal setelah Indonesia merdeka, di Madyopuro ditempatkan para prajurit tentara yang bertugas di pos-pos penjagaan. Masyarakat sekitar secara rutin juga ditugaskan untuk memuatkan makan bagi tentara-tentara itu. Mereka menggunakan uang dari hasil iuran warga secara suka rela dalam bentuk bahan makanan maupun uang. Sarpinah sering memasakkan makanan untuk mereka. Biasanya ia membuatkan sayur sup. Dari kegiatan itu lah pertama kali ia mengenal Wakidjo. Pernikahannya dengan Wakidjo berjalan dengan baik, hanya saja sebagai tentara Wakidjo sering ditugaskan ke luar pulau Jawa, seperti di Sulawesi untuk meredakan kerusuhan yang terjadi di waktu itu. Rasa was-was sering dirasakan Sarpinah selama suaminya bertugas, selain dirinya ditinggalkan sendiri ia juga tidak tahu bagaimana keadaan suaminya di tempat jauh sebagai tentara.
Sejak ia menikah dengan Wakidjo, Sarpinah membuka toko kelontong di pasar. Sehingga, meskipun suaminya bekerja di perantauan, Sarpinah masih dapat menghidupi dirinya sebdiri. Beberapa tahun kemudian ia mengasuh anak kakak iparnya yang bernama Dasiatun dan Sugiono yang merupakan anak pertama dari adiknya yakni Boeang. Hal itu ia lakukan agar tidak merasa kesepian karena ditinggal oleh suaminya, sebab Sarpinah tidak dikaruniai buah hati yang selalu ia harapkan.
Di tahun 1970, tepatnya tanggal 18 April, Sarpinah langsung membawa pulang seorang bayi perempuan yang secara kebetulan dilahirkan oleh seorang ibu-ibu yang sedang berbelanja di pasar. Bayi itu dilahirkan di rumah seorang warga bernama Arifin yang letak rumahnya berdekatan dengan pasar Madyopuro tempat Sarpinah bekerja saat itu. Sang ibu yang bernama Rusmini sebelmnya telah memiliki empat orang anak yang kesemuanya adalah laki-laki, sehingga bayi perempuan tersebut merupakan anak perempuan satu-satunya yang ia miliki. Akan tetapi, mengingat keadaan perekonomiannya yang saat itu sedang semrawut Rusmini rela menyerahkan bayi perempuannya kepada Sarpinah agar anaknya mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Meskipun demikian, Rasmini kerap kali menjenguk anaknya, sebab tempat tinggalnya tidak seberapa jauh dengan kediaman Sarpinah.
Oleh Wakidjo, bayi itu di beri nama Sri Wahyuti Ningsih. Sri menjadi anak kesayangan Wakidjo dan Sarpinah, ia disekolahkan sampai SMKK (sederajat SMA/SMK). Pada tahun 1994, Sarpinah menikahkan Sri dengan Miskan yang merupakan anak terakhir dari kakak iparnya. Dari pernikahan pitrinya itu, Sarpinah mendapatkan cucu perempuan pertamanya di tahun 1995 dengan nama Rodhiyatul Dewi Fauziah, cucu keduanya lahir di tahun 2003 dengan nama Diana Cahya Ning Tyas.
Di bulan ramdhan tahun 2004, Sarpinah dan keluarga harus merelakan kepergian Wakidjo untuk kembali kepada yang Maha Kuasa. Wakidjo harus meninggalkan dunia sebelum impiannya untuk pergi ke tanah suci bersama Sarpinah terwujud, meskipun kesempatan itu sudah di depan mata. Sehingga sekitar akhir tahun 2004 Sarpinah berangkat ke tanah suci bersama Sugiono, keponakan yang pernah ia asuh sewaktu kecil. Sarpinah sempat mengajak Sri maupun Miskan untuk menemaninya pergi ke tanah suci, tetapi mereka menolak sebelum akhirnya memutuskan untuk ditemani Sugiono.
Setelah pulang dari tanah suci, sarpinah menjual toko kelontong miliknya dan berhenti untuk bekerja. Ia lebih memilih untuk beristirahat dan tinggal di rumah karena usianya yang semakin bertambah tua. Masih di tahun yang sama yakni tahun 2005, Sarpinah mendapatkan cucu ketganya, Adam Firmansyah. Sarpinah merasa beruntung bahwa dimasa tuanya ia semakin banyak mendapatkan teman hidup, yakni anak, menantu dan cucu-cucu yang menyayanginya.

















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Pengalaman-pengalaman hidup yang dialami Sarpinah dimasa penjajahan dapat memberikan pelajaran bagi dirinya untuk terus melanjutkan hidup dan menjadikan kehidupannya menjadi lebih baik, selain juga dapat dijadikan panutan bagi orang lain untuk dapat belajar menjalani hidup dari pengalaman yang telah terjadi sekalipun itu merupakan pengalaman buruk.
2.      Usaha, doa, dan berserah disertai kesabaran akan selalu mendapatkan hasil yang terbaik. Ketika Sarpinah tidak dikaruniai anak, Sarpinah mendapatkan tiga orang cucu.

B.     Saran
Sejarah tidak hanya milik orang-orang yang gugur dalam perjuangan untuk membela tanah air dan milik orang-orang yang meiliki pengaruh besar terhadap perubahan bangsa. Sejarah milik semua orang, sejarah seseorang akan lebih berarti jika hal itu dapat dijadikan sebagai motivasi bagi orang lain.












DAFTAR RUJUKAN

(Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga), diakses 5 Desember 2013.
Hakim, H. 2013. Pendidikian Indonesia Dari Masa Ke Masa (Zaman Kolonial – Reformasi). (Online), (http://aw3r3mu.wordpress.com/2013/09/01/pendidikian-indonesia-dari-masa-ke-masa-zaman-kolonial-reformasi/), diakses 5 Desember 2013.

Sugeng. 2013. Pengertian Sejarah Menurut Para Ahli. (Online), (carakata.blogspot.com), diakses 5 Desember 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar