NENEK
SARPINAH, BELAJAR DARI PENGALAMAN UNTUK HIDUP YANG LEBIH BAIK
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH
Pengantar Ilmu Sejarah
yang dibina oleh Ibu Indah W.P.
Utami, S.Pd., S.Hum., M.Pd.
OLEH
Rodhiyatul Dewi Faziah
130731616751
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
PENDIDIKAN
SEJARAH
Desember 2013
DAFTAR
ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.......................................................................................................................
B.
Rumusan Masalah..................................................................................................................
C.
Tujuan....................................................................................................................................
D.
Metode Sejarah......................................................................................................................
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Kehidupan Masa Kecil Sarpinah Ketika
Penjajahan di Indonesia........................................
B.
Kehidupan Sarpinah Setelah Menikah
Hingga Sekarang......................................................
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan............................................................................................................................
B.
Saran......................................................................................................................................
BAB
I
PANDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejarah adalah
sebuah peristiwa yang telah terjadi dimasa lampau dan peristiwa tersebut tidak
akan pernah terjadi untuk yang kedua kalinya. Meskipun dalam kehidupan kita
nanti akan ada sebuah peristiwa yang dapat dikatakan “kejadian itu terulang
lagi, seperti yang waktu itu”, namun sebenarnya peristiwa itu tidak benar-benar
terjadi seperti yang telah berlalu sebelumnya. Hanya kemiripan dalam beberapa
peristiwa yang menyebabkan orang mengatakan peristiwa tersebut telah terulang
kembali. Menurut Sugeng (2013), “sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan
suatu perputaran jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat, dan peradaban”.
Keluarga merupakan
unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan anggota
keluarga. Menurut Salvicion dan Celis (1998), di
dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena
hubungan darah, hubungan perkawinan
atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama
lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan
suatu kebudayaan.
Sejarah keluarga
melibatkan seluruh anggota keluarga didalamnya, baik secara sadar maupun tidak.
Sejarah memiliki keruntutan waktu yang disebut kronologi yang sangat penting
dalam suatu rekonstruksi kisah sejarah, dan kesemuanya selalu berkaitan satu
sama lain. Hal tersebut mendasari penulis untuk menuliskan perjalan sejarah
keluarga nenek sarpinah berikut.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
kehidupan masa kecil Sarpinah ketika masa penjajahan di Indonesia?
2. Bagaimana
kehidupan Sarpinah setelah menikah hingga sekarang?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui bagaimana kehidupan masa kecil Sarpinah pada masa penjajahan di
Indonesia.
2. Bagaimana
kehidupan keluarga Sarpinah setelah ia menikah hingga sekarang.
D.
Metode
Sejarah
1. Pemilihan
topik
Kehidupan masa lalu nenek Sarpinah
sangat menarik perhatian penulis untuk dapat mengetahuinya lebih dalam. Sebab
selain mengetahui gambaran kehidupan di masa lalu, penulis juga sangat
beruntung karena dapat mengetahui lebih dalam mengenai kehidupan masa lalu
nenek Sarpinah untuk mengerti bagaimana kehidupan masyarakat pada zaman
penjajahan secara langsung, karena selama ini beliau adalah sosok yang pendiam.
Oleh sebab itu penulis memilih topic ini sebagai pokok bahasan.
2. Heuristik
Untuk dapat menuliskan kembali kisah
kehidupan nenek Sarpinah, penulis melakukan wawancara secara langsung kepada
belaiu, selain juga mendapatkan informasi lain dari adik ipar dan anak nenek
Sarpinah sendiri. Selain menggunakan wawancara, penulis juga mendapatkan
beberapa informasi dari internet sebagai sumber tambahan dan sumber pembanding.
3. Kritik
Sumber
a. Kritik
eksternal
Berdasarkan penuturan dari sumber primer
yakni nenek Sarpinah, menyebutkan bahwa ia pernah mengalami kegagalan dalam
pernikahannya dengan suaminya yang pertama, mengenai kematian kakaknya ketika
berperang melawan penjajah, mengenai saudara-saudaranya yang lain tidak diasuh
oleh ibunya sendiri, dan juga mengenai pengadopsian bayi perempuan yang telah
berstatus sebagai anak kandungnya juga keterangan-keterangan yang disampaikan
oleh nenek Sarpinah sesuai dengan penuturan dari narasumber yang lain.
b. Kritik
internal
Mengenai keterangan dari nenek Sarpinah
akan tahun lahirnya, penulis masih sedikit ragu karena beliau hanya mnyebutkan
jika tahun ini umurnya 86tahun. Penulis tidak memiliki data pembanding untuk
mendapatkan kebenaran mengenai keterangan tersebut.
4. Interpretasi
Nenek Sarpinah banyak belajar dari
pengalaman hidupnya yang mampu membuatnya untuk terus terdorong melakukan
perubahan-perubahan kea rah yang lebih baik.
5. Heuristik
Dalam penulisan sejarah ini, penulis
memulai dengan menuliskan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan
metode-metode yang digunakan untuk menulis sejarah ini dalam BAB1. Kemudian
dalam BAB2 dibahas secara labih mendalam mengenai sejarah ini yakni sejarah
kehidupan nenek Sarpinah sejak kecil di zaman penjajahan hingga sekarang. BAB3
berisi kesimpulan dan saran mengenai apa yang telah dibahas dalam BAB2.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kehidupan
Masa Kecil Sarpinah Ketika Masa Penjajahan di Indonesia
Lahir di kota Malang sekitar tahun 1927
tanpa diketahui hari, tanggal bahkan bulan kelahirannya. Sarpinah adalah anak
ke empat dari enam bersaudara yang lahir dari seorang ibu bernama Rukiyati,
dengan empat saudara laki-laki dan seorang kakak perempuan. Kehidupan yang harus
dijalani Sarpinah kecil membuatnya teringat akan peristiwa-peristiwa yang
terjadi dimasa itu.
Sejak kecil Sarpinah sudah harus belajar
mencari nafkah dengan diajak ibunya berjualan nasi bungkus dan menjajakannya
dengan berjalan hingga ±5 km jauhnya dengan menyunggi bakul besar. Sarpinah
satu-satunya anak yang masih diasuh oleh Rukiyati, sedangkan saudara-saudaranya
yang lain diasuh oleh sanak saudara baik dari Rukiyati maupun suaminya sendiri.
Hasil yang didapat dari berjualan nasi saat itu dapat dibilang cukup banyak,
tetapi ironisnya, hasil dari berjualan itu tidak digunakan untuk membeli bahan
makan dan kebutuhan rumah tangga lainnya, bahkan Sarpinah pun juga tidak pernah
diberi uang jajan. Uang dari hasil berjualan selalu digunakan oleh Rukiyati sendiri
untuk bersenang-senang. Paling tidak ia gunakan untuk mengundang andong (pengamen-pengamen)
bernyanyi di rumahnya. Meskipun begitu, Rukiyati adalah seorang pekerja keras
dan selalu sibuk dengan pekerjaannya hingga tidak sempat untuk mengurus
anak-anaknya.
Sarpinah tidak pernah mengecam bangku
sekolah sama sekali karena kedua orang tuanya tak pernah memberi kesempatan
untuk Sarpinah bersekolah meskipun dalam hati kecilnya ia sangat ingin pergi ke
sekolah. Hari-harinya disibukkan dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan
membantu ibunya berdagang. Namun hingga saat ini ia masih mampu membaca dan berhitung,
hanya saja kini faktor usia membuat daya penglihatannya menurun. Ia belajar
membaca dan berhitung secara otodidak melalui kebiasaan-kebiasaan dalam
kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan kedua adik laki-lakinya yang bernama
Boeang dan Pa’i, mereka mendapatkan kesempatan untuk pergi ke sekolah meskipun
dengan perlengkapan sekadarnya, bahkan Pa’I pergi ke sekolah menggunakan rok
sedangkan Boeang memakai celana yang sudah sobek-sobek, namun hal itu tak
meredupkan semangat mereka untuk bersekolah. Boeang melanjutkan hingga ke jenjang
ST (Sekolah Teknik) sekoloah milik Belanda kala itu. Saat itu tidak ada biaya
pendidikan yang dibebankan terhadap siswa, sehingga siapapun dapat bersekolah,
hanya saja kesadaran dan keinginan untuk bersekolah kala itu masih sangat
rendah.
Sarpinah juga mengenang adanya
penyerangan dari pihak Belanda di Madyopuro yang menewaskan seorang kakaknya juga
mengenai sebelas orang lainnya yang dibantai dan dikuburkan dalam sumur yang
menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Madyopuro melawan penjajah.
Tentara-tentara Belanda dengan membawa
senapan mendatangi setiap rumah penduduk di desa Ngadipuro kala itu, mereka
mendobrak setiap pintu rumah warga dan membawa para kaum laki-laki ikut bersama
mereka. Mereka dikumpulkan dan ditembaki di sebuah tanah lapang yang saat ini
merupakan halaman depan gedung kelurahan Madyopuro, pembantaian juga dilakukan
di halaman belakang SDN Madyopuro 1, para korban meninggal dimasukkan ke dalam
sumur. Untuk mengenang peristiwa tersebut, didirikan Tugu Bambu Runcing di
halaman sekolah dan Sumur Maut yang terletak di belakang ruang kelas SDN
Madyopuro 1. Penulis tidak mendapat keterangan lebih dalam mengenai tragedi
tersebut karena terbatasnya sumber dan satu-satunya buku yang dapat dijadikan referensi
oleh penulis sudah tidak dapat dijumpai lagi.Selain kakaknya, Sarpinah juga
nyaris kehilangan ayahnya dalam tragedi Sumur Maut itu
B.
Kehidupan
Sarpinah Setelah Menikah Hingga Sekarang
Sekitar tahun 1949, Sarpinah dipinang
oleh Barimin salah seorang pemuda di kampungnya. Rencana pernikahan mereka
sempat hampir gagal karena menurut orang tua keduanya, mereka masih memiliki
hugungan darah yang seharusnya tidak boleh menikah. Menurut mereka jika
Sarpinah dan Barimun tetap menikah, rumah tangga mereka akan terus didera
kesusahan. Tetapi mereka memaksa untuk tetap menikah. Prosesi pernikahan
berlangsung dengan lancar, namun usia pernikahan meraka terbilang cukup singkat
karena apa yang dipercayai oleh orang tua mereka benar terjadi. Selalu ada yang
tertimpa musibah diantara keduanya setelah pernikahan itu Akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah.
Setelah perpisahan itu, Barimin menikah lagi hingga tiga kali. Sedangkan
Sarpinah menikah untuk ynag ke-dua kalinya dengan seorang prajurit tentara
bernama Wakidjo.
Di tahun-tahun awal setelah Indonesia
merdeka, di Madyopuro ditempatkan para prajurit tentara yang bertugas di
pos-pos penjagaan. Masyarakat sekitar secara rutin juga ditugaskan untuk
memuatkan makan bagi tentara-tentara itu. Mereka menggunakan uang dari hasil
iuran warga secara suka rela dalam bentuk bahan makanan maupun uang. Sarpinah
sering memasakkan makanan untuk mereka. Biasanya ia membuatkan sayur sup. Dari kegiatan
itu lah pertama kali ia mengenal Wakidjo. Pernikahannya dengan Wakidjo berjalan
dengan baik, hanya saja sebagai tentara Wakidjo sering ditugaskan ke luar pulau
Jawa, seperti di Sulawesi untuk meredakan kerusuhan yang terjadi di waktu itu.
Rasa was-was sering dirasakan Sarpinah selama suaminya bertugas, selain dirinya
ditinggalkan sendiri ia juga tidak tahu bagaimana keadaan suaminya di tempat
jauh sebagai tentara.
Sejak ia menikah dengan Wakidjo,
Sarpinah membuka toko kelontong di pasar. Sehingga, meskipun suaminya bekerja
di perantauan, Sarpinah masih dapat menghidupi dirinya sebdiri. Beberapa tahun
kemudian ia mengasuh anak kakak iparnya yang bernama Dasiatun dan Sugiono yang
merupakan anak pertama dari adiknya yakni Boeang. Hal itu ia lakukan agar tidak
merasa kesepian karena ditinggal oleh suaminya, sebab Sarpinah tidak dikaruniai
buah hati yang selalu ia harapkan.
Di tahun 1970, tepatnya tanggal 18
April, Sarpinah langsung membawa pulang seorang bayi perempuan yang secara
kebetulan dilahirkan oleh seorang ibu-ibu yang sedang berbelanja di pasar. Bayi
itu dilahirkan di rumah seorang warga bernama Arifin yang letak rumahnya
berdekatan dengan pasar Madyopuro tempat Sarpinah bekerja saat itu. Sang ibu
yang bernama Rusmini sebelmnya telah memiliki empat orang anak yang kesemuanya
adalah laki-laki, sehingga bayi perempuan tersebut merupakan anak perempuan
satu-satunya yang ia miliki. Akan tetapi, mengingat keadaan perekonomiannya
yang saat itu sedang semrawut Rusmini
rela menyerahkan bayi perempuannya kepada Sarpinah agar anaknya mendapatkan
kehidupan yang lebih baik. Meskipun demikian, Rasmini kerap kali menjenguk
anaknya, sebab tempat tinggalnya tidak seberapa jauh dengan kediaman Sarpinah.
Oleh Wakidjo, bayi itu di beri nama Sri
Wahyuti Ningsih. Sri menjadi anak kesayangan Wakidjo dan Sarpinah, ia
disekolahkan sampai SMKK (sederajat SMA/SMK). Pada tahun 1994, Sarpinah
menikahkan Sri dengan Miskan yang merupakan anak terakhir dari kakak iparnya.
Dari pernikahan pitrinya itu, Sarpinah mendapatkan cucu perempuan pertamanya di
tahun 1995 dengan nama Rodhiyatul Dewi Fauziah, cucu keduanya lahir di tahun
2003 dengan nama Diana Cahya Ning Tyas.
Di bulan ramdhan tahun 2004, Sarpinah
dan keluarga harus merelakan kepergian Wakidjo untuk kembali kepada yang Maha
Kuasa. Wakidjo harus meninggalkan dunia sebelum impiannya untuk pergi ke tanah
suci bersama Sarpinah terwujud, meskipun kesempatan itu sudah di depan mata.
Sehingga sekitar akhir tahun 2004 Sarpinah berangkat ke tanah suci bersama
Sugiono, keponakan yang pernah ia asuh sewaktu kecil. Sarpinah sempat mengajak
Sri maupun Miskan untuk menemaninya pergi ke tanah suci, tetapi mereka menolak
sebelum akhirnya memutuskan untuk ditemani Sugiono.
Setelah pulang dari tanah suci, sarpinah
menjual toko kelontong miliknya dan berhenti untuk bekerja. Ia lebih memilih
untuk beristirahat dan tinggal di rumah karena usianya yang semakin bertambah
tua. Masih di tahun yang sama yakni tahun 2005, Sarpinah mendapatkan cucu
ketganya, Adam Firmansyah. Sarpinah merasa beruntung bahwa dimasa tuanya ia
semakin banyak mendapatkan teman hidup, yakni anak, menantu dan cucu-cucu yang
menyayanginya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Pengalaman-pengalaman
hidup yang dialami Sarpinah dimasa penjajahan dapat memberikan pelajaran bagi
dirinya untuk terus melanjutkan hidup dan menjadikan kehidupannya menjadi lebih
baik, selain juga dapat dijadikan panutan bagi orang lain untuk dapat belajar menjalani
hidup dari pengalaman yang telah terjadi sekalipun itu merupakan pengalaman
buruk.
2. Usaha,
doa, dan berserah disertai kesabaran akan selalu mendapatkan hasil yang
terbaik. Ketika Sarpinah tidak dikaruniai anak, Sarpinah mendapatkan tiga orang
cucu.
B.
Saran
Sejarah tidak hanya
milik orang-orang yang gugur dalam perjuangan untuk membela tanah air dan milik
orang-orang yang meiliki pengaruh besar terhadap perubahan bangsa. Sejarah
milik semua orang, sejarah seseorang akan lebih berarti jika hal itu dapat
dijadikan sebagai motivasi bagi orang lain.
DAFTAR
RUJUKAN
(Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga), diakses
5 Desember 2013.
Hakim,
H. 2013. Pendidikian Indonesia Dari Masa Ke Masa (Zaman Kolonial
– Reformasi). (Online), (http://aw3r3mu.wordpress.com/2013/09/01/pendidikian-indonesia-dari-masa-ke-masa-zaman-kolonial-reformasi/), diakses
5 Desember 2013.
Sugeng.
2013. Pengertian Sejarah Menurut Para Ahli. (Online), (carakata.blogspot.com),
diakses 5 Desember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar